Oleh : Kang Maman (Maman Suherman)
Januari – awal Februari 2020 saya menyambut Maret-April dengan penuh gairah. Bayangkan 5 bahkan 6 buku baru saya siap diterbitkan oleh 4 penerbit berbeda. Dua saya tulis sendiri, dua berkolaborasi dengan Guru Besar Monash University, Melbourne, Prof DR Nadirsyah Hosen , 1 dengan Pak Sony Tan dan 1 dengan Hayuning Sumbadra . Rencana tur buku dan ikutannya pertunjukan musikalisasi puisi, pertunjukan teater hingga peragaan busana yang sejalan dengan isi buku) sudah disusun sampai Desember. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, jadwal keliling negeri hingga Agustus sudah tersusun. Beberapa pengundang bahkan sudah memberi uang muka sampai 50% bahkan ada yang 100%.
“Pagebluk” datang, semua rencana sebagaimana bidang-bidang lain, rontok seperti pohon menggugurkan dedaunannya dan hilang terbawa angin. “Hadapi dengan senyuman,” begitu kami antar sahabat saling menguatkan. Saya memahami sepenuhnya, karena kegiatan-kegiatan saya berkaitan dengan kehadiran massa dalam jumlah banyak, dan itu tak mungkin dilakukan di tengah pandemi ini.
Di tengah “keheningan”, 4 penerbit –Grasindo Publisher Penerbit KPG Noura Publishing dan Diva Press dengan segala perhitungan tetap memutuskan untuk mencetak buku-buku saya, dengan penuh perhitungan, tentunya. Satu buku lagi, memang belum diputuskan dicetak karena rencananya baru di bulan Mei-Juni dan masih dalam tahap finalisasi. Alhamdulillah alternatif covernya pun sudah dikirim Pak Sony ke KPG dan saya. Semua sepakat, menjualnya lewat toko buku online, market place.
Saya tentu tak boleh tinggal diam, membiarkan penerbit mempromosikan dan menjualnya dan saya hanya duduk tenang menunggu royalti. Dari rumah, saya meminta buku-buku dikirim ke rumah saya untuk saya tandatangani satu per satu. Rumah kami pun penuh dengan tumpukan 10ribuan buku, yang memenuhi ruang tamu dan garasi. Bau kertas (minyak) di mana-mana, beruntung seluruh penghuni rumah mau memahaminya, kendati itu berarti kipas angin terus menyala dan air purifier kerja keras 24 jam. Saya harus bersabar melepas satu per satu plastik buku, menandatangani, menyusun kembali ke dalam kardus dan menunggu mobil box menjemputnya.
Tidak mudah. Toko buku buka-tutup “tidak normal”, begitu juga percetakan dan pengantaran buku. Tercatat penjualan buku di Indonesia turun 40-70% sejak Maret 2020. Lampu merah bagi penerbit kecil dan menengah. Tak cuma di negeri ini. Di Malaysia, penjualan buku dikabarkan bahkan turun 80-90% karena seluruh toko buku tutup. Di Filipina sama saja. Semestinya April negeri itu merayakan International Literary Festival pun dibatalkan.
Di tengah kondisi ekonomi seperti sekarang, buku tentu bukan kebutuhan primer, bahkan bukan kebutuhan sekunder. Karenanya, butuh upaya ekstra untuk memasarkannya.
Buku tercetak, toko buku online gencar menawarkan dengan berbagai bonus, sistem pengantaran buku langsung ke rumah pembeli digaungkan sejumkah toko buku, tapi siapa yang masih menyisihkan uang untuk membeli “asupan” buat kepala dan hati, ketika urusan perut pun mulai terancam? Dan kita belum tahu kapan pagebluk berakhir.
Meminta kepada pemerintah untuk turun tangan menyelamatkan literasi…. wow… tentu bukan hal mudah. Meski itu sebatas mengusulkan agar pemerintah mau memberikan dukungan kepada industri perbukuan untuk membuka akses membaca gratis secara daring dan segera mengonversi buku terbitan ke dalam bentuk digital, audio, video dan program daring agar mudah diakses selama pandemi. Jujur, saya sedikit pesimis bila usulan dilanjutkan dengan pemerintah memberikan dukungan (dana) bagi perpustakaan, lembaga pendidikan dan komunitas masyarakat untuk membeli buku, buku digital dan buku audio agar bisa dibaca masyarakat di rumah. Dan, juga usulan agar pemerintah perlu menggelar kampanye bersama untuk menyosialisasikan budaya baca di masa pandemi, membantu pengiriman buku-buku ke taman bacaan, perpustakaan daerah dan komunitas, serta insya Allah mau membantu menghidupkan kembali industri perbukuan dari keterpurukan.
Langkah-langkah ini sudah dilakukan di sejumlah negara. Perpustakaan nasional Ceko, menurut pemberitaan di Harian Kompas (4 Mei 2020) membeli buku elektronik senilai 370.000 euro selama pandemi; Irlandia mengeluarkan dana tambahan 200.000 euro untuk pembelian 5000 buku elektronik dan buku audio untuk perpustakaan umum; dan Inggris memberikan dana kepada perpustakaan umum senilai 1 juta poundsterling untuk membeli buku elektronik dan buku audio.
Sebelum itu semua terwujud, bagaimana nasib penerbit? Atau penulis seperti saya dan banyak teman-teman lain?
“Hadapi dengan senyuman”?
Sekadar berbagi cerita, saya dan penerbit buku saya tak henti berkomunikasi, memutar otak, untuk “saling menyemangati” dan mengatur strategi promo dan penjualan. Instagram Live, podcast dan “zoom” barang-barang aneh bagiku akhirnya jadi makanan sehari-hari. Saya bahkan melayani pembelian buku sendiri dari rumah dan hampir saban hari membawa “bungkusan buku” ke jasa kurir yang untungnya hanya berjarak 400 meter dari rumah. Saya melayani pemesan dari sesama warga Bekasi, hingga ke Hong Kong. Di “kedai” kurir, saya melihat tumpukan barang “industri rumahan” yang juga diproduksi oleh tetangga-tetangga saya. Dari produk makanan, sampai aksesori akuarium.
Dan alhamdulillah, entah dapat inspirasi dari mana, ada perusahan yang tak cuma membantu kebutuhan primer karyawan-karyawannya, tapi juga tetap memberi asupan bacaan, “Biar mereka tetap tak berjarak dengan buku. Harus tetap dapat asupan intelektual,” kata Pak Sony yang memesan puluhan buku, dan diikuti oleh stafnya juga dalam jumlah puluhan.
“Keajaiban” lain datang dari Wakil Ketua DPR, Pak Rachmat Gobel yang tak cuma berulang-ulang mengirim APD, masker, hand sanitizer, kacamata goggle, infrared forehead thermometers ke kampung halamannya, Gorontalo. Pada awal April, beliau memesan 300an buku dengan syarat, satu per satu cover buku harus diberi sampul plastik mika — untuk disertakan dalam pengiriman barang-barang tadi. Beliau dengan “setengah bercanda” berujar, “Selain kebutuhan nasi (primer) dan nasib (kesehatan dan keselamatan), kita tidak boleh lupa dengan kebutuhan akan literasi warga dan juga petugas kesehatan kita. Warga harus tetap punya kegiatan positif selama di rumah, termasuk di dalamnya, memberi asupannpada otak dengan membaca buku. Petugas kesehatan kita butuh rehat dan rekreasi sejenak di tengah tugasnya menyelamatkan nyawa orang lain, salah satunya dengan membaca buku.”
Dan minggu ini, ia kembali memesan 420an buku bacaan untuk dikirim bersama alat-alat kesehatan selama masa pandemi.
Saya membayangkan, kalau kesadaran seperti ini tetap terbangun bukan oleh cuma satu-dua orang wakil rakyat dan pengusaha, upaya mempertahankan dan menyambung nyawa industri perbukuan literasi secara lebih luas masih memperlihatkan titik terang. Tetapi, lebih jauh dari itu, dengan segala “keterbatasannya”, saya setuju dengan usulan dan surat yang diajukan teman di dunia perbukuan dan literasi kepada presiden, bahwa “negara harus hadir”. Sejumlah negara lain telah membuktikannya.
Begitu banyak yang harus dipikirkan oleh penyelenggara negara?
Jawabnya, ya!
Apalagi, kalau masih mengingat pesan Bapak Bangsa Haji Agus Salim, “Leiden is lijden”: Memimpin itu menderita! Apalagi di tengah rakyatnya yang juga sedang menderita.
Oh iya, sekadar mengingatkan. Literasi bukan cuma soal buku. Dia juga bisa soal sinyal-listrik yang mengganggu pembelajaran jarak jauh. Kalau nggak percaya, dan biar nggak kaget, silakan tanya Mendikbud, Mas Nadiem.
KM, 4 Mei 2020.